Cegah Dampak Buruk, Observasi Pendengaran Bayi Baru Lahir

Senin, 25 Maret 2019 - 11:16 WIB
Cegah Dampak Buruk, Observasi Pendengaran Bayi Baru Lahir
Cegah Dampak Buruk, Observasi Pendengaran Bayi Baru Lahir
A A A
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. Bila tidak diantisipasi sejak awal, gangguan pendengaran dapat menyebabkan dampak buruk lainnya pada anak, seperti gangguan bicara, berbahasa, kognitif, masalah sosial, dan emosional.

Identifikasi gangguan pendengaran serta intervensi sebelum usia 6 bulan terbukti dapat mengatasi masalah tersebut.The Joint Committee on Infant Hearing tahun 1994 merekomendasikan skrining pendengaran neonates harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah dilakukan sebelum usia 6 bulan.

Wakil Ketua Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) dr Hably Warganegara SpTHT-KL mengatakan, gangguan pendengaran akan mengakibatkan gangguan komunikasi, psikologi, dan sosial.

Gangguan pendengaran itu dapat dihilangkan melalui upaya pencegahan dan pengendalian penyakit, terutama pada bayi atau tuli kongenital. Dia menjelaskan, tuli kongenital dapat terjadi pada bayi sejak lahir.

Ketulian itu bisa diakibatkan bawaan, seperti riwayat hamil atau riwayat lahir, bisa juga disebabkan infeksi. Gejala yang terjadi adalah anak belum dapat bicara sesuai usianya, bahkan berpotensi menimbulkan masalah lain seperti gangguan THT dan psikologi.

“Tuli kongenital paling bahaya. Jika tidak ditolong, kemungkinan terjadi gangguan perkembangan kognitif, psikologi, dan sosial,” kata dr Hably pada temu media terkait kesehatan pendengaran di Gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta, Jumat (22/3).

Menurutnya, gangguan perkembangan kognitif, psikologi, dan sosial itu akan mengakibatkan terjadinya gangguan proses bicara, kemampuan berbahasa, komunikasi, proses belajar, dan perkembangan kepandaian.

Karena itu, dr Hably menjelaskan, yang perlu diketahui bidan dan masyarakat adalah cara mendeteksi pendengaran bayi secara sederhana. Bayi memang belum bisa berbicara, tetapi dia bisa menunjukkan refleks jika mendengar suara keras. Sementara cara observasi bayi terhadap suara dapat dilihat dari refleks bayi ketika mendengar suara keras atau refleks moro.

“Refleks moro itu kalau bayi tidak memakai bedong, tangannya seperti mau meluk, kaget,” ucap dr Hably. Ada juga tanda lain berupa auropalpebra atau mengejapkan mata, grimacing atau mengerutkan wajah, berhenti menyusu atau mengisap lebih cepat, bernapas lebih cepat, dan ritme jantung bertambah cepat.

“Jangan dites di depan bayi, tapi di belakang bayi. Biasanya kalau bayi mendengar klakson atau tepuk tangan dari belakang, dia menunjukkan refleks. Nah , kalau refleksnya tidak ada, segera kontrol ke fasilitas kesehatan untuk diperiksa,” ucap dr Hably. (Iman Firmansyah)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8922 seconds (0.1#10.140)